Kamis, 06 Desember 2018

Peran Kesehatan Gigi Guna Mendukung Percepatan Pembangunan Kesehatan Berdasarkan Isu Strategis Pembangunan Kesehatan 2018

Silahkan Bagikan Tulisan-Artikel ini :

Peran Kesehatan Gigi Guna Mendukung Percepatan Pembangunan Kesehatan Berdasarkan Isu Strategis Pembangunan Kesehatan 2018

19JAN
P

1. Peningkatan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkualitas bagi ibu dan anak
–          Penyuluhan dan pemberian informasi kepada ibu dapat dilakukan dalam kegiatan Posyandu rutin yang ada di masyarakat
–          Pemeriksaan gigi bagi balita yang bertujuan agar gigi susu yang sudah tumbuh tidak terserang karies (gigi berlubang) sehingga tidak mengganggu pola makan dan zat gizi yang masuk bersama makanan dapat terserap dengan baik.

2. Peningkatan pengendalian penyakit menular dan tidak menular serta penyehatan lingkungan
–          Gigi berlubang merupakan salah satu dari penyakit yang tidak menular, namun dapat berkembang apabila tidak dikendalikan sehingga dapat mengganggu seseorang yang menderitanya, oleh karena itu dengan memperhatikan keadaan kesehatan gigi dan mulut dapat mengendalikan penyakit tidak menular. Gigi berlubang dapat dikendalikan dengan pemeriksaan rutin yang dilakukan minimal 6 bulan sekali.

3. Peningkatan profesionalisme dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang merata
–          Mengadakan pelatihan bagi  tenaga kesehatan yang berada jauh dari kota dan mendayagunakan kader kesehatan yang ada di setiap desa sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di desa.

KESEHATAN GIGI

Masih Rendah, Kesadaran Masyarakat terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut


Suasana seminar ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement”, Senin (26/05) di Aula Gedung B Lantai III Kampus FKG Unpad, Jalan Sekeloa Selatan No. 1 Bandung (Foto oleh: Tedi Yusup)*
Hal tersebut dikatakan oleh Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes., dosen Fakultas Kedokteran Gigi Unpad saat Seminar Ilmiah “Sociodental Integrated Approach for Oral Health Status Improvement”, Senin (26/05) di Aula Gedung B Lantai III Kampus FKG Unpad, Jalan Sekeloa Selatan No. 1 Bandung. Seminar ini menghadirkan 5 pembicara, yakni Tenny Setiani Dewi, drg. MS., Sp.PM, Dr. Sri Susilawati, drg., M.Kes,  Dr.phil.(des) Dian Ekawati, M.A., Zulia Hasratiningsih, drg., M.DSc., dan Dr. Atwar Bajari, M.Si.
Pada tahun 2013, Dr. Susi bersama tim dari 11 departemen di FKG Unpad telah melakukan penelitian terkait kondisi kesehatan gigi dan mulut masyarakat di sekitar Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) FKG Unpad.
“Hasilnya ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat sebatas memiliki keinginan untuk memeriksakan kesehatan giginya. Namun, yang betul-betul datang ternyata sangat rendah,” ujarnya.
Menggunakan pendekatan sociodental approach, sebuah pendekatan untuk melihat permasalahan kebutuhan perawatan kesehatan gigi tidak hanya dari aspek klinis, penelitian tersebut dilakukan kepada masyarakat usia dewasa di sekitar RSGM Unpad. Hasilnya ditemukan, 98,7% masyarakat membutuhkan perawatan gigi. Baru sebagian yang sudah sadar untuk melakukan perawatan dengan datang ke dokter gigi, puskesmas, atau RSGM.
Dr. Susi menuturkan, alasan masyarakat datang ke pelayanan kesehatan disebabkan oleh rasa sakit gigi. Sekitar, 66,2% persen diantaranya disebabkan oleh gigi yang berlubang. Namun, jumlah masyarakat yang datang baru sekiitar 35% saja, 65% masyarakat memilih untuk merawat dan mengobatinya sendiri.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Dr. Tenny Setiani Dewi, drg., M.S., SpPM, yang juga dosen di FKG Unpad. Dari hasil kuesioner terhadap 108 orang di sekitar RSGM Unpad, ditemukan bahwa angka prevalensi bebas karies gigi hanya 1,3% saja. Sisanya, 98,7% responden memiliki karies gigi.
“Begitu pula dengan kondisi gigi anak, 100% anak punya karies gigi, dan indeks PUFA-nya mencapai 58%. Itu pun kondisinya untreated,” papar Tenny.
Dengan demikian, pemerintah dan pihak terkait harus lebih aktif mengomunikasikan pentingnya melakukan perawatan kesehatan gigi kepada masyarakat. Saat ini, masih ada kesenjangan komunikasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat.
Jika dilihat dari konteks sosial budaya, ada perbedaan persepsi antara masyarakat dengan petugas kesehatan terkait kesehatan gigi dan mulut. Menurut dosen Sastra Jerman Fakultas Ilmu Budaya Unpad, Dr. Phil. (des) Dian Ekawati, M.A., persepsi “nyeri gigi” di mata masyarakat masih terbilang ringan dan belum perlu melakukan perawatan.
Padahal, dalam istilah medis, nyeri gigi sudah termasuk ke dalam masalah gigi yang harus diobati.
“Istilah yang muncul di masyarakat ‘kan kalau pipinya belum bengkak karena sakit gigi maka belum ke dokter gigi. ‘Sakit gigi’ dalam istilah mereka biasanya identik dengan apabila sudah mengganggu aktivitas sehari-hari,” ujar Dr. Dian yang melakukan penelitian mengenai konsep “bersih”, “kotor”, “sehat”, dan “sakit” dalam masyarakat Sunda.
Hal ini disebabkan struktur sosial budaya terkait kesehatan. Masyarakat cenderung aktif bertanya kepada tetua/sesepuh ketimbang ke dokter. Penyebab lainnya adalah terkait faktor sosial ekonomi, dan faktor psikologis dimana dalam benak masyarakat, dukun atau paraji lebih bernas ketimbang dokter ataupun bidan.
Kesenjangan inilah yang harus segera dientaskan. Dr. Atwar Bajari, M.Si., Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad mengatakan, media komunikasi menjadi penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Media elektronik seperti televisi dinilai lebih baik untuk mengomunikasikan pentingnya kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat.
“Hal lain yang bisa dilakukan adalah petugas kesehatan dapat masuk ke struktur tetua masyarakat, seperti sesepuh atau ulama. Sehingga, mereka inilah yang akan mendorong masyarakat untuk lebih sadar akan kesehatan giginya,” cetus Dr. Dian.*
Laporan oleh: Arief Maulana / eh*

Minggu, 14 Oktober 2018

Anastesi

Anestesi Lokal Dalam Pencabutan Gigi



Anestesi Lokal Dalam Pencabutan Gigi


Definisi Anestesi lokal

Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan sensasi pada area tertentu yang dipersarafi oleh nervus tertentu pada tubuh akibat depresi eksitasi pada serabut saraf maupun akibat inhibisi pada proses konduksi nervus perifer. (Malamed, S. F, 1.3)

Sedangkan Anestesiologi didefinisikan sebagai ilmu yang mendasar usaha dalam hal- hal pemberian anestesi dan analgesic serta menjaga keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan, melakukan tindakan resusitasi pada penderita gawat, mengelola unit perawatan intensif, memberi pelayanan terapi, penanggulangan nyeri menahun bersama cabang ilmu kedokteran lainnya dan dengan peran serta masyarakat secara aktif mengelola kedokteran gawat darurat.

Persiapan Anestesi

Sebelum dilakukan pemberian anestesi lokal, operator harus mempertimbangkan resiko yang dapat terjadi pada pasien. Hal ini disebabkan oleh efek depresan yang merupakan salah satu efek dari obat- obatan anestesi lokal. Selain itu, obat- obatan anestesi lokal pun memiliki efek samping lain berupa bronkospasm yang sering kali menyebabkan hiperventilasi maupun vasodepressor sinkop. Oleh karena itu, keadaan umum pasien perlu dievaluasi sebelum melakukan tindakan anestesi.

Evaluasi Praanestesi dilakukan melalui anamnesis serta evaluasi kondisi fisik pasien. Dalam anamnesis, pasien ditanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita, obat- obatan yang sedang dikonsumi, riwayat alergi,  dan juga beberapa keluhan- keluhan yang mungkin dialami oleh pasien. Dalam evaluasi praanestesi ini pula ditanyakan tentang ketakutan pasien sebelum dilakukan anestesi sehingga keadaan psikologis pasien dapat pula dievaluasi.

Penyakit- penyakit yang umumnya ditanyakan kepada pasien dalam evaluasi praanestesi adalah kelainan jantung, hipotensi, diabetes, gagal ginjal, penyakit liver, alergi terhadap obat, hipertensi, rematik, asma, anemia, epilepsy, serta kelainan darah.

Pemeriksaan fisik praanestesi yang perlu dilakukan adalah inspeksi visual untuk mengobservasi adanya kelainan pada postur tubuh pasien, gerakan tubuh, bicara, dan sebagainya; evaluasi tanda vital; serta status kesehatan fisik menurut ASA.


Komplikasi Anestesi Lokal

Pada pemberian anestesi lokal, terdapat komplikasi yang mungkin saja terjadi. Komplikasi yang disebabkan pemberian anestesi lokal dibagi menjadi dua, komplikasi lokal, dan komplikasi sistemik. Komplikasi lokal merupakan komplikasi yang terjadi pada sekitar area injeksi, sedangkan komplikasi sistemik merupakan komplikasi yang melibatkan respon sistemik tubuh terhadap pemberian anestesi lokal.


Komplikasi Lokal 

a. Jarum Patah
Penyebab utama jarum patah adalah kondisi jarum yang fatig akibat dibengkokkan. Jarum patah dapat pula disebabkan oleh kesalahan teknik saat administrasi, kelainan anatomi pasien, serta jarum yang disterilkan berulang. Apabila kondisi ini terjadi, pasien diinstruksikan untuk tidak bergerak dan tangan operator jangan dilepaskan dari mulut pasien dan pasang bite block bila perlu. Jika patahan dapat terlihat, patahan dapat dicoba diambil dengan arteri klem kecil. Namun, apabila jarum tidak terlihat, insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan segera konsultasikan ke spesialis bedah mulut untuk diambil secara surgical.

b. Rasa sakit
Rasa sakit saat administrasi anestesi lokal disebabkan oleh penggunaan jarum yang tumpul, pengeluaran anestetikum dengan terlalu cepat, serta tidak menguasai teknik anestesi lokal. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan anestesi topikal sebelum insersi jarum dan mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta anestetikum yang digunakan lebih baik jika suhunya sama dengan suhu tubuh.

c. Parestesi atau Anestesi Berkepanjangan
Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan dapat terjadi akibat trauma saraf, anestetikum bercampur alkohol, serta adanya perdarahan pada sekitar saraf. Parestesi berkepanjangan dapat menyebabkan trauma pada bibir yang tergigit dan apabila mengenai N. Lingualis dapat menyebabkan mati rasa kecap. Sebagai upaya pencegahan, operator harus berhati- hati saat administrasi dan menggunakan spuit sekali pakai sehingga tidak perlu mensterilkan dengan larutan alkohol. Penanggulangan parestesi yang berkepanjangan dapat dilakukan dengan penjelasan pada pasien bahwa hal tersebut akan terjadi dalam waktu lama, control setiap dua bulan, dan apabila berlangsung lebih dari satu tahun maka konsultasi neurologis diperlukan. 

d. Paralisis Fasial
Paralisis fasial disebabkan oleh insersi jarum yang terlalu dalam saat blok N. Alveolaris Inferior sehingga masuk ke kelenjar parotis dan mengenai cabang saraf wajah, biasanya N. Orbicularis oculi. Penanggulangan hal tersebut dilakukan dengan memberitahu pasien bahwa hal tersebut akan berlangsung selama beberapa jam dan mata pasien harus dilindungi selama refleks berkedip belum kembali.

e. Trismus
Trismus merupakan salah satu komplikasi pemberian anestesi akibat adanya trauma pada M. Mastikatorius atau pembuluh darah pada intra temporal fossa. Trismus dapat pula disebabkan oleh anestesi lokal yang bercampur alkohol dan berdifusi ke jaringan sehingga mengiritasi M. Mastikatorius. Penangulangan trismus dilakukan dengan cara pemberian analgetik, kompes air panas selama 20 menit, latihan buka tutup mulut selama 5 menit setiap 3-4 jam, dapat pula diberikan permen karet untuk melatih gerakan lateral. Bila trismus berlanjut lebih dari 7 hari, maka konsulkan pada spesialis bedah mulut.

f. Hematom
Hematom sering terjadi pada komplikasi blok N. Alveolaris Inferior, N. Alveolaris Superior Posterior, dan N. Mentalis/ Insisif. Pencegahan hematom dapat dilakukan dengan mengetahui anatomi sehingga tidak terjadi penyebaran darah ke ronga ekstravaskuler. Penggunaan jarum pendek pada anestesi N. Alveolaris superior posterior juga dapat dilakukan sebagai upaya meminimalisasi hematom. Penanggulangan hematom akibat administrasi anestesi lokal adalah dengan menekan perdarahan dan jangan mengompres panas selama 4-6 jam setelah kejadian, namun setelah satu hari dapat dikompres hangat 20 menit per jam. Kompres dingin dapat dilakukan segera setelah terjadi hematom untuk mengurangi perdarahan dan rasa sakit.

g. Infeksi
Infeksi terjadi akibat kontaminasi jarum dan dapat menyebabkan trismus. Bila infeksi berlanjut sampai lebih dari hari ketiga, maka antibiotik diindikasikan untuk pasien tersebut.

h. Edema
Edema disebabkan oleh trauma selama anestesi lokal, infeksi, alergi, perdarahan, dan penyuntikan anestetikum yang terkontaminasi alkohol. Penanggulangan edema dilakukan dengan observasi bila edema disebabkan oleh trauma injeksi atau iritasi larutan, biasanya akan hilang 1- 3 hari tanpa terapi. Sedangkan bila lebih dari 3 hari dan disertai rasa sakit atau disfungsi mandibula, antibiotik sebaiknya diberikan untuk pasien tersebut.

i. Trauma jaringan lunak
Pada pasien anak- anak, atau pasien dengan cacat mental, rasa baal setelah pemberian anestesi lokal dapat menyebabkan pasien tersebut mengigit bibir maupun jaringan lunak lainnya. Penanggulangan trauma jaringan lunak di sekitar area yang dianestesi dilakukan dengan pemberian salep untuk mengurangi iritasi, analgesic, serta antibiotik jika diperlukan.

j. Lesi intraoral
Lesi intraoral umumnya disebabkan oleh trauma jarum pada jaringan saat insersi. Penanggulangan lesi ini dilakukan dengan pemberian topikal anestesi praanestesi, pemberian obat kumur, dan pemberian antibiotik jika terjadi infeksi.


Komplikasi Sistemik

a. Reaksi psikis
Reaksi psikis yang sering terjadi sebagai komplikasi sistemik akibat pemberian anestesi lokal adalah sinkop atau serangan vasovagal. Hal ini merupakan gangguan emosional sebelum penyuntikan. Pada  saat terjadi reaksi psikis, arteri mengalami vasodilatasi sehingga menyebabkan volume darah ke jantung berkurang sehingga menyebabkan penurunan umpan balik kardiak yang menyebabkan hilang kesadaran mendadak. Tanda- tanda reaksi psikis ini adalah pucat, mual, pusing, keringat dingin, dan jika tidak ditangani cepat kesadaran akan hilang, pupil membesar, denyut nadi lemah dan tidak teratur. Perawatan reaksi psikis ini adalah dengan penaganan emergensi sinkop.

b. Reaksi toksik
Reaksi toksik pada administrasi anestesi lokal jarang terjadi bila penyuntikan dilakukan sesuai dengan prosedurnya. Apabila aspirasi tidak dilakukan sebelum penyuntikan, maka anestetikum akan masuk ke dalam intravaskuler sehingga menyebabkan overdosis. Tanda- tanda reaksi toksik adalah terjadi konvulsi, gangguan pernafasan, dan syok.

c. Reaksi alergi
Riwayat alergi pasien harus ditanyakan praanestetikum sehingga meminimalisasi terjadinya reaksi alergi. Reaksi alergi yang terjadi berbeda- beda dengan tingkat keparahan yang juga berbeda. Tingkat reaksi alergi yang paling ringan adalah localized skin reaction dengan gejala lokal eritema, edema, dan pruritus. Untuk tingkatan lesi yang lebih parah yaitu reaksi pada kulit yang tergeneralisasi, antihistamin perlu diberikan. Pada kasus alergi yang melibatkan traktus respiratorius, diberikan epinefrin secara intramuscular kemudian melakukan prosedur emergensi. Tingkat reaksi alergi yang paling parah adalah syok anafilaktik yag perlu ditangani dengan segera dengan pemberian epinefrin IM atau IV, serta penaganan emergensi syok.

d. Virus Hepatitis/ HIV
Penyebaran kedua virus ini dapat melalui jarum suntik. Oleh karena itu, jarum suntik harus digunakan sekali pakai sebagai upaya pencegahan.

e. Interaksi obat
Interaksi obat dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat sistemik. Secara umum, interaksi obat dengan anestesi lokal sangat jarag. Namun, anestesi lokal yang mengandung noradrenalin dapt merangsag respon tekanan darah pasien yang mendapatkan antidepresan trisiklik. Karena itu, noradrenalin tidak dianjurkan untuk dipakai.


Teknik Anestesi Blok Rahang Bawah

Anestesi Blok Fisher’s
Teknik anestesi blok rahang bawah yang paling sering digunakan adalah blok saraf alveolaris inferior atau lebih dikenal dengan blok Fisher’s. Teknik blok anestesi blok rahang bawah ini sangat berguna untuk anestesi satu regio pada rahang bawah. 
Pada teknik anestesi blok Fisher’s ini, saraf yang teranestesi meliputi N. Alveolaris inferior, cabang dari N. V3, N. Insisivus, N. Mentalis, dan N. Lingualis.

Area yang teranestesi dengan teknik blok Fisher’s adalah geligi mandibular sampai midline, corpus mandibula, ramus inferior, mukoperiosteum bukal, mukus membrane anterior pada mandibula gigi molar pertama, dua pertiga anterior lidah dan dasar mulut, serta jaringan lunak lingual dan periosteum.

Anestesi Lokal Dalam Pencabutan Gigi


Daerah yang teranestesi pada blok Fisher’s

Indikasi teknik anestesi blok Fisher’s adalah untuk prosedur pada gigi rahang bawah multiple pada satu region, anestesi jaringan lunak buccal, anestesi jaringan lunak lingual. Sedangkan kontraindikasi blok Fisher’s adalah adanya infeksi atau inflamasi akut pada area injeksi, serta pasien dengan kemungkinan untuk menggigit jaringan lunak yang teranestesi.

Keuntungan anestesi blok Fisher’s adalah injeksi anestesi di satu tempat memberikan anestesi pada area yang luas pada satu region. Namun, area yang luas pada anestesi blok Fisher’s ini tidak diperlukan untuk keperluan prosedur lokal. Kerugian lain anestesi blok Fisher’s ini adalah adanya persentase anesthesia yang tidak cukup, intraoral landmark yang menjadi acuan penyuntikan kadang tidak terlihat, kadang terjadi aspirasi positif, anestesi lingual dan bibir bawah menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien.


Teknik Penyuntikan Anestesi Blok Rahang Bawah

Tahapan penyuntikan anestesi blok Fisher’s adalah :

Jari telunjuk diletakkan di belakang gigi molar ketiga kemudian digeser ke lateral untuk mencar linea oblique eksterna lalu digeser ke median untuk mencari linea oblique interna melalui trigonum retromolar.

Anestesi Lokal Dalam Pencabutan Gigi


Punggung jari harus menyentuh bucooklusal gigi yang terakhir, lalu jarum dimasukkan kira- kira pada pertengahan lengkung kuku dari sisi rahang yang tidak dianestesi yaitu region premolar sampai terasa kontak dengan tulang.

Syringe kemudian digeser kea rah sisi yang akan dianestesi, harus sejajar dataran oklusal, jarum ditusukkan lebih lanjut sedalam 6mm lalu lakukan aspirasi. Bila aspirasi negative, larutan anestesi lokal dikeluarkan ½ cc untuk menganestesi N. Lingualis.

Syringe digeser lagi kea rah posisi pertama namun tidak peuh, sampai region caninus, kemudian jarum ditusukkan lebih dalam menyusuri tulang kurang lebih 10- 15 mm sampai terasa konta jarum dengan tulang terlepas. Lakukan kebali aspirasi, bila negative, larutan anestetikum dikeluarkan 1cc untuk menganestesi N. Alveolarius inferior.



 Anestesi Blok N. Buccinatorius (Buccal Nerve Block)

Blok N. Buccinatorius ditujukan untuk menganestesi daerah pipi dan membrane mukosa bukal pada region gigi molar.

Saraf yang teranestesi pada blok ini adalah N. Buccal yang merupakan cabang dari N. V3 yang mempersarafi jaringan lunak dan periosteum buccal sampai gigi molar mandibular. Anestesi blok N. Buccinatorius diindikasikan untuk prosedur dental pada region gigi molar rahang bawah. Namun blok ini merupakan kontraindikasi untuk infeksi atau terdapat inflamasi akut pada area injeksi


Teknik Penyuntikan Anestesi Blok N. Buccinatorius

a. Penyuntikan anestesi blok buccal dilakukan pada coronoid notch, sedikit ke median dari linea oblique ramus mandibula. Mukosa bukal dan pipi ditarik kemudian jarum ditusukkan kea rah lateral dan distal di gigi molar ketiga setinggi 2-3 mm di sekitar oklusal.

b. aspirasi, bila negative, cairan anestetikum dikeluarkan 0,5 cc.



Featured Post

Karies

Karies Gigi Definisi  Karies Gigi Karies berasal dari kata Yunani yang berarti “Lubang”. WHO mendefinisikan karies gigi sebagai “lo...